Minggu, 21 Desember 2014

Guru Kami, Pahlawan Semesta

1


Sumber: Bai Ruindra
Saya mengenalnya lebih kurang 13 tahun lalu, suatu masa yang panjang ketika dia masih tegap dalam langkahnya. Sekarang, setelah lebih 37 tahun mengabdi, langkahnya tidak lagi setegak kala muda. Tubuhnya sudah ringkih dan harus dibantu kruk untuk dapat menapaki hari-hari bersama kami.

Dia, Dra. Rosmalawati Idris, seorang guru saya dan guru kebanyakan orang sukses di kampung kami. Bu Ros, begitu panggilannya merupakan guru tertua di sekolah kami dan hanya mengabdi pada satu sekolah semenjak pengangkatan menjadi guru pegawai. Bu Ros selalu memberi senyum pada kami, walaupun langkahnya tidak pernah rata antara kiri dan kanan. Dalam keseharian, tubuhnya boleh saja lemah tetapi suara dan cara mengajarnya bahkan mampu menyaingi guru lain yang lebih muda. Semangatnya dalam mengajar tidak pernah pudar dari semenjak saya kenal fisiknya hingga kini sudah pensiun.

Bu Ros, satu-satunya guru “titipan” dari Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat yang ditugaskan kepada MAN Suak Timah (Kementerian Agama). Sebagai guru yang diperbantukan, Bu Ros tetap mengajar anak-anak madrasah sesuai kemampuan beliau. Walaupun banyak sekali surat-menyurat yang harus diurus ke Dinas Pendidikan bukan berarti membuatnya ingin cepat-cepat ditarik kembali oleh ibu kandung. Saat guru-guru lain di bawah naungan bapak sendiri - semua administrasi lancar di bawah kementerian agama - Bu Ros kadang tersandung karena harus melalui proses di Dinas Pendidikan kemudian pindah tangan ke Kementerian Agama (dulu Departemen Agama). Bu Ros tidak pernah mengeluh, dengan langkah tertatih beliau bertahan di madrasah.

Bu Ros adalah seorang guru kelahiran tahun 1959, perempuan kuat dan perkasa di mata saya sebagai siswa dan sebagai rekan kerja kini. Sejak kecil Bu Ros sudah mengalami masalah dengan kesehatannya. Kaki sebelah kiri Bu Ros terkena penyakit folio, entah karena dulu tidak cepat disembuhkan atau memang tidak tahu-menahu masalah ini, Bu Ros pun tidak ingat apa yang dilakukan kedua orang tuanya waktu itu, akhirnya kaki kiri Bu Ros lebih kecil dari ukuran normal. Semasa muda dan masih kuat, Bu Ros masih sanggup berjalan mengelilingi perkarangan sekolah kami, tetapi menjelang masa pensiun, seiring usia yang lanjut, Bu Ros sudah menggunakan kruk membawa langkahnya ke kelas. Semula satu kruk, sampai akhirnya dua kruk dan Bu Ros tetap mengajar sebagaimana kewajibannya. Jadwal mengajar yang sudah diembannya sebagai guru profesional dengan 24 Jam Pelajaran, dilaksanakan Bu Ros tanpa mengeluh maupun meminta bantuan guru lain apalagi kepada guru honorer. Bu Ros sanggup mengajar 4 sampai 6 jam dalam sehari, walaupun kemudian atas kesadaran kami semua, jam Bu Ros disesuaikan dan diatur supaya beliau tidak terbebani di usia senja dan kondisi fisiknya. Bu Ros malah meminta tugas dan tanggung jawabnya diberikan penuh, karena baginya, gaji yang diberikan pemerintah pada sisa umurnya merupakan amanah yang tidak bisa dimanipulasi.

Benar kiranya, guru pahlawan tanpa tanda jasa, jika melihat banyak sekali yang dilakukan Bu Ros. Dengan keterbatasan yang dimiliki, Bu Ros berdiri di antara kegagahan dan kegarangan guru-guru muda di antara para siswa. Terlepas dari semua itu, Bu Ros tetap menjadi salah seorang guru yang disegani oleh siswa-siswinya. Bukan karena kaki Bu Ros tidak normal, karena Bu Ros mengajar dengan cara yang tidak sama dengan guru lain. Suara lantang, sikap tegas dan berwibawa. Pelajaran Qur’an Hadist yang diajarkan beliau menjadi pelajaran yang sempat ditakuti siswa-siswi. Ketegasan Bu Ros terletak pada siswa yang tidak bisa menghafal ayat al-Quran maupun sepotong hadits. Siswa yang tidak bisa, tidak segan pula Bu Ros meminta hafal kembali maupun berdiri di depan kelas sampai mampu menghafal.

Guru menjadi satu-satunya penentu baik buruk seorang manusia. Sampai kapan pun guru akan selalu dikenang dan tidak pernah diletakkan di suatu tempat terendah. Bu Ros, barangkali salah satu guru dengan keterbatasan yang telah mencerdaskan bangsa. Pemerintah hanya sanggup memberikan materi dengan jumlah tertentu selama pengabdiannya, tetapi ilmu yang diajarkannya tidak akan pernah habis maupun menghilang dari ingatan siswa-siswi. Bahkan untuk saya pribadi, tidak akan ada tulisan inspiratif ini sebelum saya mengenal Bu Ros dengan segenap hasratnya mengajarkan baik buruk dalam agama.

Mungkin, Tuhan punya cara tersendiri memberikan penghargaan pada seorang guru seusia Bu Ros yang sudah melahirkan generasi beragam prestasi. Suatu saat nanti!
*** 

Sumber: Bai Ruindra

Pok Nah dan Seorang Cucu

1


Photo by Bai Ruindra
Namanya Maimumah. Saya memanggilnya Pok Nah. Seorang perempuan tua dan janda. Usianya lebih kurang lima puluh lima tahun. Tidak ada yang istimewa dari perempuan kampung ini. Dia sebagai ibu rumah tangga. Sebagai pekerja di sawah. Sebagai perempuan yang selalu menghidangkan makanan enak tiga kali sehari, menurut ukuran enaknya tersendiri. Sebagai perempuan yang selalu mencuci pakaian kotor keluarganya. Sebagai perempuan yang rutin ikut kegiatan di kampung, seperti wirid Yasin dan arisan sepuluh ribu rupiah seminggu sekali. Sebagai ibu dari tiga anak laki-laki dewasa dan seorang anak perempuan yang sudah meninggal tujuh tahun lalu. Dan sebagai seorang nenek. Ya, nenek dari bocah laki-laki warisan berharga anak perempuannya yang telah tiada.
Itulah keistimewaan Pok Nah di mata saya. Perjuangannya membesarkan cucu laki-laki ditinggal mati ibu dan ditinggal pergi ayah justru lebih berat dibandingkan perjuangannya mencari nafkah. Tepatnya, Pok Nah tidak bekerja selain ke sawah saja saat musim tanam dan panen.
Muhammad Rafi nama si bocah laki-laki itu. Ibunya meninggal begitu melahirkannya. Ayahnya juga meninggalkannya sebulan kemudian. Ayahnya beralasan mencari nafkah di belahan bumi Aceh yang lain. Bekerja sebagai buruh kasar. Bulan pertama kepergiannya, ayahnya masih sempat mengirimkan selembar uang lima puluh ribu rupiah untuk Rafi. Bulan kedua tidak ada. Bulan ketiga datang lagi lima puluh ribu rupiah yang sudah lusuh. Bulan selanjutnya, dan seterusnya sampai berselang tahun, Rafi sudah bisa mengeja sebutan “ayah”, tidak pernah lagi selembar rupiah pun singgah ke gubuk sederhana peninggalan suami Pok Nah. Ayah Rafi hilang bagai ditelan bumi. Belakangan laki-laki yang seharusnya dipanggil ayah oleh Rafi itu dikabarkan akan menikah. Pernikahan yang berlangsung bahagia itu hanya didengar Pok Nah dari mulut orang lain. Pernikahan yang tak seharusnya didengar Pok Nah. Bukan karena ayah Rafi lupa memberi undangan saja, tetapi perempuan yang dinikahi ayah Rafi adalah ponakan jauh suami Pok Nah. Seakan melupakan Rafi yang ditinggal ibunya, laki-laki itu bahagia bersama istri barunya.
Kasihan Rafi tidak memiliki ibu dan ayah. Entah karena tidak mengenal ibu dan ayah. Entah karena kedekatannya dengan Pok Nah. Entah karena sosok ibu tak pernah ada dalam ingatannya. Entah karena ingatan kecilnya hanya mengingat Pok Nah seorang. Rafi memanggil perempuan tua itu dengan sebutan sayang, “Mak!”
Benar. Rafi tidak memanggil Pok Nah dengan sebutan nenek. Seperti seharusnya dilakukan bocah itu. Pok Nah tidak keberatan Rafi melakukan hal demikian. Baginya, Rafi adalah anak dan cucu dari anak perempuannya dan bocah malang yang ditinggal pergi ayah kandungnya.
Tiap hari Rafi menyusahkan Pok Nah dengan tingkahnya yang susah diatur. Rafi menjadi bocah liar. Agresif terhadap sesuatu. Tidak takut pada apapun yang diucapkan Pok Nah. Rafi akan merengek sepanjang hari jika Pok Nah tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Ketiga anak laki-laki Poh Nah juga tidak bisa berbuat banyak, mereka masih bekerja tidak tetap. Tentu saja, karena Rafi hanya keponakan bagi mereka.
Terlepas dari semua itu, Pok Nah tak pernah membuat Rafi bersedih. Rafi selalu tersayang. Rafi adalah belahan jiwa yang dilupakan ayahnya. Rafi merupakan anugerah yang tak bisa diabaikan hadirnya.
Pok Nah selalu tersenyum pada kehidupannya yang rumit. Termasuk pada saya, Pok Nah tak pernah menampakkan sedihnya. Candaannya melupakan derita di gubuk kayu hampir roboh itu.

Bersabar saja, Pok Nah. Karena Tuhan tidak pernah tidur melihat ciptaan-Nya terluka! 
****
Sumber: Bai Ruindra